KEHIDUPAN AGAMA
KERAJAAN KUTAI
A.
PENDAHULUAN
Kutai merupakan kerajaan Hindu pertama di
Indonesia, yang muncul pada abad ke-4. Kerajaan yang disebut dengan Kerajaan
Kutai Martadipura ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di
hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama
tempat ditemukannya Prasasti Yupa yang menunjukkan eksistensi kerajaan
tersebut. Catatan sejarah dari Tiongkok menyebut kerajaan ini dengan nama “Kho-Thay”
yang berarti Kerajaan Besar. Sedangkan catatan dari Negeri India menyebut
keraaan ini sebagai “Quetire” yang berarti Hutan Belantara. Ada tujuh
buah yang menjadi acuan bukti sejarah Yupa
adalah sebuah tiang batu berukuran ± 1 meter sebagian ditanam di atas tanah.
Pada tiang batu inilah terukir prasasti dari kerajaan Kutai yang dianggap
sebagai sumber tulisan tertua, sehingga Indonesia mulai memasuki masa sejarah dan
mengakhiri masa prasejarahnya.
Tulisan
dalam yupa menyebutkan bahwa Kerajaan Kutai dimulai dari sosok bernama Kudungga.
Kudungga digantikan oleh Aswawarman. Aswawarman adalah salah satu pembentuk
keluarga sehingga ia disebut Wangsakarta (pendiri Dinasti) dari Kerajaan Kutai.
Dari perkawinanya, Aswawarman dikaruniai tiga orang anak. Salah satunya
Mulawarman. Mulawarman diangkat sebagai pengganti Aswawarman, kerajaan Kutai
mengalami masa kejayaan. Wilayahnya mencakup hampir seluruh Kalimantan Timur.
Penggantinya Sri Warman, Marawijaya Warman, Gayayana Warman, Wijaya Tungga
Warman, Jaya Naga Warman, Nala Singa Warman, Nala Perana Warmana Dewa, Galingga
Warman Dewa, Indra Warman Dewa, Sangga Wirama Dewa, Singa Wargala Warman Dewa,
kemudian Candra Warmana. Ketika Mulia Tungga Dewa menjadi raja, ia mengubah
gelar raja menjadi prabu. Ia menggunakan gelar resmi Prabu Mulia Tungga Dewa. Penggantinya adalah Prabu Nala Indra Dewa, kemudian Prabu Indra
Mulia Warmana Tungga. Pemerintahan selanjutnya berturut-turut dipegang oleh
Prabu Srilangkan Dewa, Prabu Guna Perana Tungga, Wijaya Warman, Indra Mulia,
Sri Aji Dewa, Mulia Putera, Nala Pandita, lalu Indra Paruta Dewa. Raja terakhir
yang memerintah yaitu Prabu Darma Setia.
Wilayah kekuasaan kerajaan Kutai Martadipura
cukup luas, karena terdapat tiga kabupaten yang dikuasai oleh kerajaan ini. Kabupaten tersebut adalah Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai
Kartanegara dan Kabupaten Kutai Timur. Semua ini masuk kedalam satu Provinsi
yaitu Provinsi Kalimantan Timur. Kerajaan Kutai Martadipura mengalami masa
kejayaan pada masa Mulawarman. Pada masa pemerintahannya, Mulawarman memberikan
kurban besar-besaran dan hadiah untuk kemakmuran negara dan rakyatnya.
Kehidupan
sosial kerajaan Kutai. Pada kerajaan Kutai ada golongan
masyarakat yang telah menguasai bahasa sansekerta dan bisa menulis huruf
Pallawa yaitu golongan para Brahmana. Golongan yang lain ialah suatu golongan
ksatria yang terdiri atas kerabat dari Raja Mulawarman. Pada masyarakat Kutai
sendiri merupakan suatu golongan penduduk yang masih erat memegang teguh suatu
kepercayaan asli dari leluhur mereka.
Kehidupan
politik yang ada pada kerajaan Kutai tercermin
pada sistem pemerintahan yang turun temurun, artinya kepemimpinan akan terus
berlanjut kepada anak, cucu hingga cicitnya. Sistem pemerintahan sendiri sudah
ada dan sudah dijalankan sejak kepemimpinan Aswawarman. Meskipun begitu
pemerintahan masih di atasi oleh orang-orang hindu yang berasal dan di
datangkan langsung dari India.
Walaupun begitu
sistemnya pun berjalan dengan teratur dan sistematis, karena pada masa
Aswawarman kerajaan Kutai menjadi bangkit dan mulai dikenal oleh banyak
kerajaan lainnya.
Kehidupan ekonomi kerajaan Kutai. Mata pencaharian yang utama dalam masyarakat zaman kerajaan Kutai
merupakan beternak sapi. Mata pencaharian
yang lain ialah bercocok tanam dan berdagang. Hal ini
dilihat dari letak kerajaan Kutai berada
ditepian sungai Mahakam yang
sangat subur sehingga cocok untuk pertanian. Selain itu, letak Kerajaan Kutai yang dilalui lalu
lintas perdagangan Selat Makasar membuat rakyat-rakyat kerajaan Kutai cocok
untuk melakukan kegiatan berdagang.
Pada abad ke-13 M, terbentuk kerajaan baru yang berada di hilir
Sungai Mahakam, yaitu Jahitan Layar. Kerajaan yang disebut dengan Kerajaan
Kutai Kartanegara ini dipimpin oleh seorang raja yang memiliki gelar Aji
Bhatara Agung Dewa Sakti. Bekas kerajaan yang kini disebut Kutai Lama ini
merupakan koloni Hindu Jawa karena nama-namanya terpengaruh oleh Kerajaan Hindu
Jawa (Rais, 2002, hlm. 16). Di satu wilayah di kawasan Sungai Mahakam ini ada
dua kerajaan yang terbentuk, yaitu Kerajaan Mulawarman dan Kerajaan Kutai
Kartanegara. Akan tetapi, pada abad ke-16 dua kerajaan besar ini akhirnya saling
berperang untuk memperebutkan kekuasaan wilayah. Di bawah kepemimpinan Raja Aji
Pangeran Sinum Panji Mendapa, Kerajaan Kutai Kartanegara akhirnya berhasil
menaklukkan Kerajaan Mulawarman/Kerajaan Martadipura. Ketika runtuh, Kerajaan
Martadipura dirajai oleh tiga bersaudara, yaitu Prabu Darmasetia, Satiaguna,
dan Satiayuda. Walaupun telah dikalahkan oleh Kutai Kartanegara, keturunan
Mulawarman ini masih memegang teguh keturunan hingga ke-43 (2012) yang dipegang
oleh Alpiansyah Gelar Maharaja Srinala Praditha Alpianyahrechza Fachlevie
(Balham, 2013, hlm. 6). Akhirnya kedua
kerajaan ini pun melebur menjadi satu dengan nama Kerajaan Kutai Kartanegara
Ing Martadipura. Setelah mengalami perjalanan yang cukup panjang, Kerajaan
Kutai Kartanegara Ing Martadipura berubah menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara
pada saat ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
kehidupan agama kerajaan Kutai Martadipura?
2.
Siapa
raja yang berperan dalam kehidupan agama di kerajaan Kutai Martadipura?
3.
Apa
saja peninggalan kerajaan Kutai Martadipura?
A. PEMBAHASAN
Kerajaan Kutai dengan nama asli Kutai Martadipura merupakan kerajaan di
Indonesia yang mendapat pengaruh India. Raja pertama kerajaan Kutai adalah Kudungga.
Kudungga adalah seorang Indonesia asli, yang untuk pertama kalinya tersentuh
oleh pengaruh budaya India. Kudungga sendiri masih mempertahankan namanya yang berciri
keindonesiaan meskipun budaya India mulai masuk. Pengaruh India mulai tampak
pada keturunan Kudungga yaitu Aswawarman. Nama Aswawarman merupakan nama yang
berbau India. Aswawarman dianggap sebagai pendiri kerajaan (=wangsakarta) dan
bukan Kudungga. Padahal Kudungga merupakan raja pertama kerajaan Kutai
Martadipura. Hal ini karena wangsakarta ditujukan kepada keluarga yang sudah
berbudaya India, yang antara lain ditandai dengan pemakaian nama yang berbau
India. Kehidupan yang bersifat Hindu sangat
ketat terhadap peraturan kasta.
Sedangkan kerajaan Kutai Martadipura bukan keturunan Hindu (lahir
sebagai Hindu) yang berasal dari India, melainkan keluarga raja bumiputera yang
telah masuk agama Hindu.
Di
dalam kepercayaan Hindu, seseorang yang teah tercemar dan karenaya dikeluarkan
dari kasta, dapat diterima kembali masuk ke dalam kastanya, setelah melalui
upacara penyucian diri yang disebut vratyastoma. Melalui upacara yang
cukup berat ini, maka segala macam kesalahan dan dosa yang pernah dilakukan
oleh seorang anggota kasta dapat dihapus, dan hukuman yang pernah ditimpakan
kepadanya berupa pengucilan dari kastanya, dapat dihapuskan juga. Dengan kata
lain, seseorang yang pernah dikeluarkan dari kastanya karena melakukan
kesalahan dan dosa yang cukup berat, dapat diterima kembali menjadi anggota kastanya
dengan melalui upacara vratyastoma ini. Upacara vratyastoma inilah
yang rupanya dijadikan jalan oleh orang-orang Indonesia yang sudah terkena
pengaruh India itu, untuk meresmikannya sebagai anggota masyarakat sesuatu
kasta yang dikenal di dalam agama Hindu. Upacara penerimaan orang luar kasta ke
dalam kasta itu, dilakukan dengan memperhatikan kedudukan asal orang yang
bersangkutan. Karena pendeta Indonesia sendiri tentu saja pada taraf pertama
tidak berhak memimpin upacara vratyastoma, dapat dipastikan bahwa pada
mulanya yang memimpin upacara tersebut ialah para Brahmana agama Hindu yang
langsung datang atau didatangkan dari India. Dalam hal ini maka hampir dapat
dipastikan, bahwa pendeta yang memimpin upacara vratyastoma untuk
Aswawarman, adalah pendeta India. Tetapi, ketika upacara itu dilakukan terhadap
Mulawarman, kemungkinan sekali upacara itu sudah dipimpin oleh pendeta
Indonesia sendiri. Dalam hal ini, para Brahmana yang berulang kali disebutkan
pada prasasti-prasastinya, dengan sendirinya tentulah sebagian terdiri dari
kaum Brahmana India, dan sebagian lainnya kaum Brahmana orang Indonesia asli Bukti sejarah Kerajaan Kutai Martadipura
terdiri dari 7 buah prasati yang berupa yupa.
Yupa ini memiliki fungsi untuk (1)
memperingati peristiwa kenduri (selamatan) yang dilakukan oleh Mulawarman, (2)
memperingati kebaikan budi Mulawarman, dan (3) merupakan tugu peringatan atau
monumen.
Berikut ini merupakan bunyi
beberapa prasasti Kerajaan Kutai :
1
Raja Kudungga Yang Mulai yang terkenal itu
punya seorang putra, Aswawarman yang mahsyur itu, pendiri dinasti, yang
sebanding dengan Ansuman. Dia punya tiga putra yang seperti tiga api korban
persembahan. Yang paling sakti, yang mahsyur karena kekuatan berpantangnya dan
karena penguasaan dirinya, adalah Yang Mulia Mulawarman, Tuan dan raja yang
memberikan persembahan berupa banyak emas. Sebagai peringatan akan
persembahan-persembahan itu, pilarkorban persembahan ini didirikan oleh para
penggawa dari mereka yang telah lahir dua kali
2
Dengarkanlah oleh kamu sekalian, Brahmana yang
terkemuka, dan sekalian orang baik lain-lainnya, tentang kebaikan budi Sang
Mulawarman, raja besar yang sangat mulia. Kebaikan budi ini ialah berwujud
sedekah banyak seklai, seolah-olah sedekah kehidupan atau semata-mata pohon
Kalpa ( yang memeberi segala keinginan), dengan sedekah tanah (yang
dihadiahkan). Berhubung dengan semua kebaikan itulah maka tugu didirikan oleh
para Brahmana (buat peringatan)
3 Tugu ini ditulis buat ( peringatan) dua
(perkara) yang telah disedekahkan oleh Sang raja Mulawarman, yakni segunung
minyak (kental), dengan lampu serta malai bunga
4
Sang Mulawarman, raja yang mulia dan terkemuka,
telah memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada para Brahmana yang seperti api,
(bertempat) di dalam tanah yang sangat suci (bernama) Waprakeswara. Buat
(peringatan) akan kebaikan budi sang raja itu, tugu ini telah dibikin oleh para
Brahmana yang datang dari tempat ini.
Dari
prasasti-prasasti itu lebih banyak yang dibahas mengenai kehidupan keagaaman kerajaan Kutai Martadipura. Telah dosebutkan dalam prasasti nama Ansuman,
yaitu Dewa Matahari di dalam agama Hindu, memberikan kepastian bahwa Mulawarman
adalah penganut Hindu. Bukti lebih
jelas lagi disebutkan dalam prasati lain bahwa upacara sedekah yang dilakukan
Mulawarman bertempat di sebidang tanah yang suci. Di dalam
upacara itu, telah dihadiahkan 20.000 ekor api
untuk para Brahmana, sehingga untuk memperingati peristiwa tersebut para
Brahmana mendirikan sebuah yupa. Bidang tanah suci
yang disebut dalam prasati itu bernama waprakeswara, yang kemudian di pulau
Jawa dikenal dengan Baprakeswara. Baprakeswara ialah suatu tempat suci yang
disebut selalu berhubungan dengan dewa besar tiga, yakni Brahma-Wisnu-Siwa. Dengan kata lain, dewa besar tiga tersebut, di tanah Jawa dimuliakan di
tempat suci yang bernama Baprakeswara, atau candi tempat candi
Brahma-Wisnu-Siwa
Agama yang dipeluk oleh
Sang Raja Mulawarman ialah agama Siwa, yang sangat umum di tanah Jawa dan para
Brahmana, yang disebut di dalam batu tulis Sang Mulawarman itu pastilah
Brahmana yang beragama Siwa. Dari semua bunyi prasasti dapat disimpulkan bahwa
Mulawarman adalah seorang raja yang memiliki hubungan baik dengan para
Brahmana. Ini dibuktikan dengan kenyataan, bahwa pada setiap prasastinya selalu
dikatakan, bahwa yupa-yupa yang mengagungkan namanya itu, semuanya didirikan
oleh kaum brahmana, sebagai bentuk terima kasih atau penghormatan kepada sang
raja, atas kebaikan-kebaikannya terhadap mereka.
Peninggalan
Kerajaan Kutai selain yupa juga ditemukan beberapa manik-manik, kalung, kura-kura
emas, fragmen keramik asing dan gerabah. Di kabupaten yang sama juga ditemukan
Situs Goa Kombeng. Beberapa data
arkeologi dari situs ini adalah arca-arca batu dengan karakter keagamaan
Hinduisme. Adapun arca yang berhasil diidentifikasi Arca Nandiswara, Arca
Mahakala, Arca Wisnu dan Arca Indra. Peninggalan-peninggalan ini dapat dilihat
di Museum Mulawarman.
A. PENUTUP
Kerajaan Kutai Martadipura adalah kerajaan Hindu
tertua di Indonesia. Masa kejayaan Kutai
Martadipura terjadi pada saat pemerintahan Mulawarman. Pada masa pemerintahan Mulawarman, diselenggarakan upacara sedekah
bertempat di sebidang tanah yang suci. Di dalam
upacara itu, telah dihadiahkan 20.000 ekor api untuk para Brahmana, sehingga
untuk memperingati peristiwa tersebut para Brahmana mendirikan sebuah yupa. Melalui upacara inilah dapat dibuktikan bahwa kerajaan Kutai
Martadipura menganut agama Hindu-Siwa.
Sebelum pemerintahan
Mulawarman juga telah dilaksanakan upacara “vratyastoma”. Upacara vratyastoma
ini dilakukan oleh Aswawarman untuk meresmikannya sebagai anggota masyarakat
sesuatu kasta yang dikenal di dalam agama Hindu. Upacara penerimaan orang luar
kasta ke dalam kasta itu, dilakukan dengan memperhatikan kedudukan asal orang
yang bersangkutan.
Peninggalan Kerajaan Kutai antara lain prasasti yang berbentuk yupa. Yupa
ini memiliki fungsi untuk (1)
memperingati peristiwa kenduri (selamatan) yang dilakukan oleh Mulawarman, (2)
memperingati kebaikan budi Mulawarman, dan (3) merupakan tugu peringatan atau
monumen. Selain yupa juga ditemukan beberapa manik-manik, kalung, kura-kura
emas, fragmen keramik asing dan gerabah. Di kabupaten yang sama juga ditemukan
Situs Goa Kombeng. Beberapa data
arkeologi dari situs ini adalah arca-arca batu dengan karakter keagamaan
Hinduisme. Adapun arca yang berhasil diidentifikasi Arca Nandiswara, Arca
Mahakala, Arca Wisnu dan Arca Indra. Peninggalan-peninggalan ini dapat dilihat
di Museum Mulawarman.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Darmawan, Joko dan Lanang Anwarsono. 2016. Mengenal
Budaya Nasional Kerajaan Nusantara. Jakarta : Esensi Erlangga Group.
2.
Poesponegoro,
Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia Jilid 2.
Jakarta : Balai Pustaka.
3.
Krom,N.J.1956. Zaman Hindu.
Trejemahan oleh Arif Efendi. Jakarta : PT Pembangunan Jakarta.
4. Soekmono,
R. 1992. Pengantar Sejarah Kebudayaan
Indonesia Jilid II. Jakarta :
Yayasan Kanisius.
5. Sagimun.
1987. Peninggalan Sejarah Tertua Kita, Seri Peninggalan Sejarah Indonesia 1.
Jakarta : CV Haji Masagung.
6. Vlekke, Bernard H.M.2008. Sejarah
Indonesia. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.
7.
Deri Ris Riana. 2017. Pemaknaan
Motif Tabu dalam Cerita Rakyat Di Wilayah Bekas Kerajaan Mulawarman, Kerajaan
Hindu Tertua Di Indonesia. Jurnal Aksara 29(2):197-210.
8. Imam Hindarto.
2008. Kalimantan dalam Wacana Indianisasi. Naditira Widya 2(2):178-189